Selasa, 29 April 2008

wacana indah tentang pendidikan terbuka

Siswa sekolah ini relatif unik. Sekitar pukul 13.00 WIB mereka berdatangan ke sekolah. Mereka umumnya membawa sepeda. Tidak sedikit pula di antara mereka yang berjalan kaki atau naik mobil umum. Pakaiannya ada yang berseragam, ada pula yang berpakaian biasa. Tidak ada sedikitpun diwajahnya kelelahan. Mereka tampak ceria dan bersemangat. Padahal mereka umumnya para pekerja di pabrik rokok dan perusahaan furnitur di sekitar kota Kudus dan Jepara Jawa Tengah.

Mereka adalah siswa SLTP Terbuka yang akan mengikuti tatap muka di sekolah induk. Mereka hanya 2 kali minggu belajar di sekolah induk. Sebagian besar mereka belajar secara mandiri. Mereka bisa bekerja sambil melanjutkan sekolah (belajar) di SLTP Terbuka. "Kami tidak mungkin bisa melanjutkan sekolah kalau tidak ada SLTP Terbuka. Kami bukan tidak punya uang untuk sekolah di SLTP reguler, tapi waktu kami sangat terbatas, karena setiap hari kami harus bekerja "kilahnya ketika ditanya alasan memilih SLTP Terbuka. Pengalaman serupa juga dapat kita lihat di Universitas Terbuka (UT). Alasan mahasiswanya memilih UT karena mereka tidak bisa mengikuti kuliah di perguruan tinggi konvensional. Dan sebagian besar siswa UT sudah bekerja. Memang SLTP Terbuka dan Universitas Terbuka adalah bentuk lembaga pendidikan yang menerapkan pendidikan jarak jauh. Pendidikan ini dirancang untuk mereka yang karena berbagai hal tidak bisa mengikuti pendidikan tatap muka antara peserta didik dengan guru/dosen (konvensional). Dua bentuk lembaga pendidikan tersebut kini sudah menjadi sekolah alterternatif dalam sistem pendidikan nasional.

Perkembangan Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh (PTJJ) di Indonesia sebetulnya telah lama dikenal bahkan sejak zaman kolonial Belanda dalam bentuk kursus tertulis yang diselenggara-kan melalui jasa pos (HRA. Tilaar). Tahun 1950-an Departemen Pendidikan menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan Jarak Jauh bagi guru SD, SLTP dan SLTA. Kemudian tahun 1976 mulai diriintis pemanfaatan program siaran radio pendidikan untuk penataran guru-guru dan calon guru Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. SLTP Terbuka (dulu SMP Terbuka) mulai dirintis sejak tahun 1979. Perkembangan selanjutnya tahun 1990/1991 dikembangkan Program Penyetaraan D-II Guru SD melalui Siaran Radio Pendidikan. Universitas Terbuka didirikan tahun 1984.

Dalam perkembangannya, pendidikan jarak jauh ini tidak hanya dilakukan oleh Departemen Pendidikan, akan tetapi departemen lain bahkan lembaga pendidikan swasta menyelenggarakan PTJJ. Untuk mengoptimalkan pendidikan terbuka/jarak jauh ini, tahun 1993 dibentuk Jaringan Sistem Belajar Jarak jauh Indonesia atau lebih dikenal dengan Indonesia Distance Learning Network (IDLN).

Untuk kawasan regeonal (Asia Tenggara) tahun 1997 telah dibentuk Seamolec (Seameo Regeonal Open Learning Network). Seamolec ini kini beranggotakan 10 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Myanmar, Brunai, Filipina, Laos, Vietnam, dan Kamboja, Di tengah-tengah persiapan melaksanakan otonomi daerah, kini sedang dikembangkan SMU Terbuka. SMU Terbuka ini juga menerapkan konsep pendidikan jarak jauh. Tulisan ini akan mencoba menganalisis bagaimana tantangan dan peluang pendidikan terbuka/jarak jauh sebagai pendidikan alternatif di era otonomi daerah.

Secara umum berdasarkan data BPS (1998) penduduk Indonesia tingkat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi masih rendah (perhatikan table-1). Misalnya anak usia 15 s.d. 19 tahun atau kita sebut saja usia SLTA dari 20.897.653 jiwa, 49,76 % tidak sekolah lagi dan 1,27% tidak/belum pernah sekolah. Sedangkan yang bersekolah hanya 48,97 %. Artinya anak yang masih dapat mengikuti pendidikan setingkat SLTA hanya 48,97%. Apalagi yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Memang tingkat perbandingan melanjutkan sekolah dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi sangat jauh. Jika usia 20 s.d. 24 tahun disebut sebagai usia perguruan tinggi, hanya 9,29% yang sekolah, dan sebagian besar (88,86%) tidak sekolah lagi.

Penyebab rendahnya tingkat melanjutkan sekolah ini sangat kompleks. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan masih rendah. Anggapan masyarakat bahwa anak dirasakan cukup hanya bisa baca, tulis, dan hitung saja masih banyak. Di sisi lain sulitnya mencari pekerjaan bagi lulusan sekolah membawa dampak negatif. Ngapain sekolah tinggi-tinggi toh setelah lulus juga nganggur, susah cari kerja. Akibatnya para orang tua enggan menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi.

Kendala keterbatasan ekonomi merupakan hambatan klasik dalam melanjutkan sekolah. Tidak sedikit ditemukan para orang tua yang masih bergelut dengan susahnya memenuhi kebutuhan primer (makan, pakaian dan perumahan). Data perkiraan BPS tahun 1998 saja jumlah penduduk miskin mencapai 79,4 juta jiwa. Apalagi krisis ekonomi yang berkepanjangan memperparah kondisi tersebut. Hasil studi yang dilakukan Pustekkom (2000) menunjukan bahwa faktor utama tidak melanjutkan sekolah adalah masalah lemahnya ekonomi. Oleh karena itu anak usia sekolah terpaksa dituntut untuk membantu orang tua mencari napkah. Umumnya mereka bekerja menjadi pekerja kasar seperti buruh pabrik, pertanian, perkebunan, atau kuli bangunan.

Letak geografis Indonesia yang cukup luas dan sulit alat transportasi juga menjadi masalah pendidikan nasional. Sampai kini sekolah konvensional khususnya mulai tingkat SLTP, SLTA apalagi perguruan tinggi masih terpusat di kota besar. Sementara di daerah masih jarang apalagi di desa-desa terpencil yang jauh di sana. Jika kebetulan ada sekolah ini, mutu dan kelengkapan sarananya jauh tertinggal dari daerah perkotaan. Sedangkan penduduk Indonesia sebagian besar berada di daerah pedesaan. Ini berarti anak yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi harus meninggalkan kampung halamannya dan bermukim di kota.

Selain itu keterbatasan sumber belajar, sarana belajar, tenaga guru, kesejahteraan guru, pengelolaan yang kurang profesional menjadikan kompleksitasnya sistem pendidikan nasional. Di sini perlu segera dicari berbagai alternatif pendidikan, apalagi memasuki era otonomi daerah.

Dalam aspek pendidikan, otonomi daerah tentu saja memberikan warna tersendiri. Di sini pro dan kontra pun bermunculan. Bagi yang pro memandang otonomi daerah sebagai suatu kesempatan untuk memajukan pendidikan khususnya di daerahnya. Mereka menyadari bahwa dengan sentralisasi pendidikan banyak kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya; isi kurikulum kurang sesuai dengan kondisi dan budaya daerah, begitu pula dalam pengelolaan, serta aspek-aspek lainnya sering dikeluhkan. Melalui otonomi ini, mereka optimis bisa menata semua kelemahan tersebut.

Sebaliknya bagi yang kontra, adanya kekhawatiran kesenjangan mutu pendidikan akan semakin jauh. Bagi daerah kaya, mereka bisa menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, meningkatkan kesejahteraan guru, membebaskan biaya pendidikan, atau apa saja yang mereka inginkan dalam meningkatkan mutu SDM daerahnya. Sebaliknya bagi daerah yang miskin, mungkin bisa hidup bertahan saja sudah untung, bagaimana mereka bisa meningkatkan mutu pendidikan dalam upaya meningkatkan SDM-nya. Hal ini menjadi semakin jauh jurang pemisah tiap daerah. Karena kakekatnya memajukan pendidikan berarti membangun aset masa depan yaitu meningkatkan mutu SDM. Pada akhirnya jika SDM sudah terbentuk, mereka akan lebih mantap memajukan daerahnya yang ditunjang dengan fasilitas sumber daya alam yang memadai.
Mengingat pentingnya aspek pendidikan maka hakekat otonomi daerah adalah bagaimana strategi membangun SDM. Tantangan dan persaingan global yang semakin ketat sangat bergantung pada kehandalan SDM. Oleh karena itu pada akhirnya kompetetif di era otonomi daerah ini akan dimenangkan oleh daerah yang memiliki SDM yang handal. Daerah yang hanya mengandalkan sumber daya alam tanpa meningkatkan kemampuan SDM justru akan ketinggalan. Sebaliknya daerah yang miskin sekalipun jika mampu membangun SDM yang handal, mereka akan eksis dan mampu bersaing bahkan mungkin memenangkan persaingan. Di sini kita bisa bercermin dari negara-negara seperti Jepang atau Korea yang sumber alamnya miskin, tetapi karena SDM-nya handal, mereka bisa eksis.

Dalam hal ini pendidikan adalah aset masa depan dalam membentuk SDM yang berkualitas. Setiap daerah dituntut menciptakan pendidikan yang bisa meningkatkan kualifikasi SDM-nya sesuai dengan situasi dan kebutuhan daerah. Namun peningkatan SDM ini perlu ditangani oleh sistem pendidikan yang baik, pengelola yang profesional, tenaga guru yang bermutu, sarana belajar yang cukup, dan anggaran pendidikan yang cukup. Selama ini semua sub sistem pendidikan tadi dikelola oleh pusat dan kini menjadi tanggungjawab daerah. Di sinilah permasalahanya, apakah daerah mampu melakukan itu, jawabanya, pendidikan bisa lebih maju, biasa saja, atau lebih buruk dari kondisi sebelumnnya.

Pengalaman negara-negara yang telah melakukan desentralisasi pendidikan menunjukan adanya kemerosotan mutu pendidikan terutama di tahun-tahun awal. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh negara berkembang, akan tetapi juga oleh negara maju seperti Kanada, Australia, dan Amerika Serikat (Wardiman Djojonegoro, 2000). Oleh karena itu untuk mengantisifasi kesenjangan dan merosotnya mutu pendidikan tersebut perlu segera diantisipasi, berbagai upaya perlu dilakukan, salah satunya adalah diperlukan pendidikan alternatif yang bisa mengatasi kendala tersebut.

Dalam sejarah pendidikan nasional Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh (PTJJ) telah menjadi pendidikan alternatif. Kontribusi sistem pendidikan ini cukup signifikan dalam percaturan sistem pendidikan nasional. Diklat Siaran Radio Pendidikan misalnya telah mencapai lebih 200 ribu guru SD. SLTP Terbuka kini telah mencapai 230 ribu lebih (Pustekkom, 2000). Lulusan SLTP Terbuka tidak sedikit pula yang berprestasi, melanjutkan ke sekolah unggulan atau bekerja baik di instansi pemerintah maupun swasta. Begitu pula bentuk pendidikan jarak jauh lainnya seperti Universitas Terbuka, dan bentuk PTJJ lainnya telah menghasilkan lulusan yang cukup signifikan bagi pembangunan bangsa.

Pendidikan terbuka/jarak jauh tidak hanya dilakukan dalam pendidikan formal, akan tetapi juga di lembaga tempat bekerja dalam melatih pegawainya. Lembaga lain seperti Departemen Kesehatan telah menyelenggarakan diklat jarak jauh bagi peningkatan kemampuan profesional bidan dan perawat, serta jaminan mutu kesehatan yang tersebar di daerah-daerah. Sampai tahun 1998/1999 para bidan yang telah mengikuti DJJ sebanyak 7.272 orang. Departemen Pertanian menyelenggarakan peningkatan profesional para penyuluh pertanian lapangan melalui Program D III Penyuluhan Pertanian Jarak Jauh. Program ini hingga tahun 1998/1999 telah mencapai 3.645 orang. Begitu pula lembaga/departemen lain (Departemen Dalam Negeri, Departemen Tenaga Kerja, Depag, dll.) telah melakukan PTJJ dalam meningkatkan kompetensi para pegawainya yang tersebar di daerah-daerah yang relatif sulit dilakukan dengan cara konvensional.

Bentuk PTJJ bisa ditemukan bermacam-macam dan mungkin saja namanya berbeda, misalnya Sekolah Korespondensi (Correspondence School), Belajar Mandiri (Independent Study), Pendidikan Terbuka (Open Learning), Pendidikan di Luar Kampus (Off-Campus Class), Belajar Jarak Jauh (Distance Learning), dan lain-lain. Namun walaupun namanya berbeda, sistem pendidikan ini memiliki kesamaan karakteristik. Anung Haryono (1998) mengidentifikasi karakteristik dari pendidikan terbuka/jarak jauh antara lain:
a. Peserta didik belajar secara terpisah dari guru. Karena itu peserta didik lebih banyak belajar secara mandiri.
b. Isi pelajaran (learning contents) disampaikan kepada peserta didik melalui berbagai jenis media. Media ini berfungsi untuk menggantikan sebagian tugas guru, yaitu tugas menyampaikan informasi dan penjelasan.
c. Ada lembaga tertentu yang merancang, mengembangkan, mengimplementasikan sistem tersebut serta mengevaluasi hasilnya.
d. Biasanya ada unit pelayanan bantuan terhadap peserta didik.
e. Dimungkinkan adanya hubungan dua arah antara peserta didik dengan guru atau tutor.

Karakteristik PTJJ tersebut memungkinkan peserta didik yang tidak bisa mengikuti pendidikan konvensional karena alasan letak geografis, ekonomi, keterbatasan waktu, atau fasilitas belajar lainnya bisa mengikuti sistem pendidikan jarak jauh. Ilustrasi di bagian awal tulisan ini merupakan gambaran alasan peserta didik perlunya belajar di sekolah yang menerapkan sistem pendidikan jarak jauh.

PTJJ bisa memberikan kebebasan belajar pada peserta didik mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi belajarnya. Peserta dapat belajar melalui bahan belajar yang telah dipersiapkan secara khusus. Bahan belajar ini bisa berupa modul, kaset audio/video, multi media, siaran radio/TV, dll. Bahan belajar ini mewakili sebagian tugas guru.

Komunikasi dan bimbingan dengan guru/tutor sangat dimungkinkan bisa dilakukan. Komunikasi ini bisa langsung (tatap muka) atau melalui media. Misalnya kini di beberapa lokasi SLTP Terbuka telah dilengkapi dengan radio komunikasi dua arah. Melalui alat ini siswa di tempat kegiatan belajar dapat bertanya tentang kesulitan belajarnya dengan guru bina di sekolah induk. Atau siswa dapat berkomunikasi (diskusi) dengan teman temannya di kelompok lain. Pertemuan tatap muka dengan guru bina dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati. Belajar kelompok atau diskusi kelompok juga mereka lakukan dalam waktu dan tempat yang ditentukan bersama.

Potensi PTJJ
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan terbuka/jarak jauh telah menjadi pendidikan alternatif dalam sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan ini memberikan kebebasan belajar kepada peserta didik. Peserta didik dapat belajar tanpa harus meninggalkan tempat tinggal dan tugas sehari-harinya. Ini berarti mereka bisa belajar di tempat tinggalnya sekalipun jauh dengan lembaga penyelenggara pendidikan. Mereka juga bisa mengikuti pendidikan sambil tetap bekerja. Begitu pula waktu belajar lebih pleksibel. Mereka bisa memilih waktu yang tepat untuk belajar seusai dengan kondisinya. Bahan belajarnyapun berpariasi. Begitu pula interaksi atau bimbingan dengan tutor dapat dilakukan sesuai kondisi dan kesepakatan bersama.

Daya jangkau PTJJ sangat luas. Melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan infomasi, pendidikan ini bisa menjangkau peserta didik yang luas bahkan di daerah terpencil yang sulit dijangkau transportasi. Ini berarti bagi daerah yang secara geografis sulit, bisa menerapkan sistem pendidikan ini.

PTJJ bisa mengatasi keterbatasan fasilitas belajar, ruang belajar, atau tenaga guru. Karena PTJJ bisa memaksimalkan sumber belajar yang ada dan tidak perlu ruang khusus. Oleh karena itu PTJJ lebih efiesien. Peserta didik dibiasakan belajar melalui berbagai sumber belajar, dimana saja setiap mereka ada kesempatan untuk belajar.

Di era pesatnya kemajuan iptek dan ketatnya persaingan ini, sikap-sikap seperti kemandirian, disiplin, tanggungjawab, keuletan, kebiasaan membaca, atau rasa keingin tahuan terhadap perubahan sangat diperlukan. Dalam sistem pendidikan terbuka/jarak jauh sikap seperti itu sangat ditonjolkan. Peserta didik dibiasakan untuk belajar mandiri dengan seminimal mungkin bantuan dari orang lain (guru/pembimbing).

Potensi daerah dan kebutuhan tiap daerah tentu saja berbeda. Sistem pendidikan ini lebih mudah menyesuaikan dengan kebutuhan daerah, baik dalam bahan belajar, sistem pengelolaan atau sistem belajarnya.

Disamping potensi tadi, pendidikan terbuka/jarak jauh juga memiliki kelemahan diantaranya, secara fisik terpisah antara guru dengan peserta didik sehingga sulit diawasi, kedisiplinan dan kemandirian peserta didik sangat diperlukan. Pendidikan ini juga diperlukan sistem pengelolaan yang profesional.

Kemungkinan Penyelenggaraan PTJJ
Telah disinggung sebelumnya bahwa kemampuan tiap daerah baik kemampuan sumber daya alam maupun SDM berbeda. Begitu pula tuntutan kebutuhan, sosial ekonom dan juga geografis berbeda pula. Semangat otonomi daerah, memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur sendiri termasuk aspek pendidikan. Dalam hal penerapan pendidikan jarak jauh pun daerah memiliki beberapa alternatif.

Penyelenggaraan PTJJ bisa dilakukan oleh organisasi secara khusus atau bekerja sama dengan lembaga terkait. Menurut Perry dan Rumble, ada tiga organisasi penyelengaraan PJJ yaitu lembaga tungga (single mode), lembaga dwifungsi (dual mode), dan lembaga Campuran (mix mode). Lembaga tungga (single mode) adalah lembaga pendidikan yang didirikan mengkhususkan untuk penyelenggaraaan pendidikan jarak jauh, misalnya Universitas Terbuka. Lembaga dwifungsi (dual mode) adalah lembaga pendidikan yang awalnya menyelenggarakan pendidikan konvensional, tetapi dalam perkembangannya menyelenggarakan pendidikan jarak jauh.

Di era reformasi lembaga seperti ini dimungkinkan untuk bisa dilaksanakan. Misalnya Universitas Indonesia disamping menyelenggarakan pendidikan konvensianal juga membuka PTJJ. Sedangkan Lembaga campuran (mix mode) adalah lembaga pendidikan yang memberikan kebebesan pada peserta didiknya untuk mengikuti pendidikan konvensional atau PTJJ. Hal ini berarti pemerintah daerah bisa memilih bentuk yang cocok dalam penyelenggaraan PTJJ, misalnnya bekerjasama dengan lembaga yang secara khusus menangani pendidikan jarak jauh khususnya dalam hal pengembangan sistem, bahan belajar, dan SDM-nya. Sistem dan bahan belajar tersebut tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah.

Dalam kerjasama ini ada beberapa bentuk yang bisa ditempuh antara lain pemerintah daerah mengikuti apa adanya semua sistem pendidikan jarak jauh yang telah ada di lembaga penyelenggara tanpa menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Misalnya pemerintah daerah bekerjasama dengan Universitas Terbuka; kurikulum, bahan belajar, dan sistem belajarnya mengikuti sistem yang diterapkan oleh UT. Pilihan ini bisa di tempuh terutama oleh daerah yang kemampuan dananya terbatas.

Saat ini sudah banyak jenis pendidikan terbuka/jarak jauh yang ditawarkan lembaga-lembaga baik dari dalam maupun luar negeri. Berdasarkan data ICDL (International Center for Distance Learning) tahun 1997 tercatat ada 1.035 buah lembaga penyelenggara pendidikan terbuka/jarak jauh. Di Asia saja tercatat 116 lembaga yang tersebar di 20 negara termasuk Indonesia (Arief S. Sadiman, 2000). Ini berarti peluang daerah dalam penyelenggaraan PTJJ semakin terbuka.

Pemerintah daerah bisa juga bekerjasama dengan lembaga penyelenggara PTJJ, hanya mungkin beberapa materi pelajaran disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Di sini proses belajar atau sistem pengelolaanya dapat pula disesuaikan dengan kondisi daerah.
Bentuk lainnya, pemerintah daerah bekerjasama dengan lembaga pendidikan yang ada di daerahnya dalam mengembangkan sistem pendidikan terbuka/jarak jauh. Misalnya Kabupaten Bandung mengembangkan pendidikan atau pelatihan untuk peningkatan kualifikasi para pertani di darerahnya. Hanya saja jika untuk jangkauan yang kecil/sedikit pengembangan PTJJ kurang efisien. Oleh karena itu bisa juga beberapa daerah yang berdekatan atau memiliki kebutuhan yang relatif sama melakukan kerjasama dalam mengembangkan PTJJ. Kerjasama ini didasarkan pada kebutuhan dan keinginan yang sama dalam meningkatkan SDM di daerahnya masing-masing. Untuk menjaga mutu PTJJ pemerintah pusat mempunyai kewajiban penting dalam membuat aturan atau standarisasi kompetensi dasar.

Anwas, Oos M., (1999), Perspektif Pendidikan Abad 21, Makalah Jurnal Teknodik, Jakarta: Depdikbud.
--------, (1999), SLTP Terbuka Andalan Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun, Makalah Buletin Kanwil Depdikbud Propinsi Sumatera Barat.
Badan Pusat Statistik; (1998), Statistical Year Book of Indonesia 1997, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, (2000), Studi Kebutuhan Pengembangan Pendidikan Menengah Terbuka, Jakarta; Pustekkom.
--------, (2001) SMU Terbuka; Sekolah Menengah Umum Pola Pendidikan Terbuka, Jakarta; Pustekkom.
Djojonegoro, Wardiman, (2000), Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengembangan Sumber Daya Manusia di Daerah, Makalah Seminar Peran Diklat Jarak jauh dalam Menunjang Otonomi Daerah, Surabaya.
Haryono, Anung, (1988), Model-Model Sistem Pendidikan Jarak Jauh, Makalah Pelatihan Perencanaan Sistem Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh, Jakarta; Seamolec.
Indonesia, Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Jakarta; Sinar Grafika.
--------, Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi, Jakarta: Sinar Grafika
Sadiman, Arief Sukadi, (2000), Pendidikan Jarak Jauh Untuk Pengembangan SDM, Makalah Seminar Peran Diklat Jarak jauh dalam Menunjang Otonomi Daerah, Surabaya.
Sadiman, Arief Sukadi, dkk., (1996), SMP Terbuka; Sekolah Menengah Terbuka, Studi Kasus Indonesia, Jakarta: Unesco.
Tilaar, H.A.R.,(1999), Lahirnya Pendidikan Terbuka dan Jarak jauh di Indonesia; Suatu Flashback", dalam Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Jakarta: Universitas Terbuka.

oleh: Ayu Septi Arini 1102406031

Tidak ada komentar: